Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Skill Emosional dan Lingkar Kebiasaan

Skill Emosional dan Lingkar Kebiasaan



Alex (nama samaran) seorang remaja berusia 20 tahun bercerita bahwa ia memiliki sifat temperamen yg sangat buruk selama beberapa tahun terakhir, bahkan kecakapan kemampuan sosialnya juga sangat minim hingga ia sering merasa kesepian ditengah-tengah keramaian. Dia tak dapat terhubung dengan orang-orang di sekitarnya, ketika dia merasa keramaian itu membuatnya tak nyaman, dan tak jarang ia merasa terserang sewaktu lelucon kecil dilontarkan untuknya. 


Dia bukan menutup diri untuk berinteraksi dengan sekitarnya, namun dia begitu selektif terhadap siapa yg  boleh masuk ke dalam circle nya. Dia akan berinteraksi dengan orang-orang tertentu, yang ketika dia bersama dengan orang itu akan muncul perasaan nyaman, dan dengan demikian ia akan dengan mudah terbuka menceritakan dirinya, sesekali bertingkah konyol, dan saling bertukar lelucon. Namun Alex tak banyak bertemu dengan orang-orang seperti itu. Sehingga ketika dia telah mendapat satu atau dua orang yg sesuai dengan circlenya, rasa kebergantungan kepada lawan bicaranya akan lahir.

Disinilah potensi kelemahan ditemukan, dimana regulasi yang telah Alex buat sedemikian rupa dapat menjadi bumerang dan menjatuhkan mentalnya suatu hari nanti. Meskipun Alex tak membuat regulasi itu tidak beralasan, ia memahami bahwa kepribadiannya tak sama dengan kepribadian seseorang yg mungkin dapat dengan mudah berinteraksi kesana kemari. Alex faham betul bahwa ia tak menguasai seni sosial itu, satu-satunya yang ia yakini waktu itu adalah bahwa dia bisa melakukan semuanya sendiri. Sebuah slogan yg mungkin umum kita dengar, namun terdengar menggoyahkan bagi orang seperti Alex.

Waktu itu, Alex adalah seorang karyawan swasta yg bekerja di perusahaan freight-forwarding. Sambil melaksanakan rutinitas pekerjaannya, ia juga seorang mahasiswa dari kampus swasta. Alex memiliki dua tanggung jawab berbeda yang bisa jadi keduanya bertolak belakang, tak jarang juga ia tak pandai mengatur waktu yang ia miliki. Ketika pekerjaannya menumpuk, biasanya menjelang natal dimana tugas pendidikan formalnya juga sedang tak sedikit, ia benar-benar kewalahan membagi waktu. Sebagai ganjaran, ia sering merasa frustasi, dan jika sudah demikian sedikit saja stressor dapat sangat mudah menjatuhkannya.

Pada awal tahun 2014, Alex berkenalan dengan seorang teman dari teman lama Alex yg bernama Vei (nama disamarkan). Vei adalah teman pertama Alex yg mampu membuat Alex tak kehabisan cerita dan keluh kesah, Alex dan Vei mampu memenuhi regulasi yg masing-masing sudah tetapkan. Dan akhirnya mereka sering terlibat diskusi, berbagi pandangan, dan tentu saja kenyamanan yang sedikit demi sedikit meringankan frustasi bagi keduanya. Perlahan tapi pasti, Alex sudah menjadikannya sebuah kebiasaan bahwa, ketika ia merasa terganggu maka ia akan pergi bertemu Vei dan ganjaran yg didapat, Alex merasa nyaman dan ringan.

Alex  terjebak dalam lingkaran kebiasaan itu, hingga suatu hari ia tersadar bahwa Vei telah membawa kebiasaan buruk lain, libido. Alex yang sudah mengidamkan kenyamanan, mengidamkan kebergantungan dan antidot dari frustasinya merasa harus menghentikan kebiasaan-kebiasaan libido buruk yang sudah mereka lakukan. Saat itu, Alex merasa terpukul, berat, dan juga sulit untuk meninggalkan ganjaran yang dibutuhkan dirinya. Alih-alih mengatasi frustasi karena tekanan pekerjaan, tugas perkuliahan, atau masalah keuangan, ia justru frustasi lantaran ia telah memutuskan untuk menghentikan kebiasaan yang ia ciptakan bersama Vei.

Alex sadar ia akan kehilangan ganjaran yang telah ia dapat sebelumnya, "kenyamanan frustasi". Dan benar saja, regulasi Alex telah menjatuhkannya, ia memang berhasil menghentikan kebiasaan buruknya. Namun orang-orang seperti Alex cenderung memupuk harapan tinggi ketika sisi emosionalnya tersentuh atau pada kasus ini, ketika Alex sudah mengidamkan sebuah 'bahasa emosional' yaitu 'kenyamanan', maka dengan mudah harapan akan tumbuh dan melambung, hingga akhirnya ketika harapan itu tak terwujudkan, orang-orang seperti Alex akan sulit berdamai dengan kenyataan.

Sumber dari tulisan ini adalah berdasarkan kisah dan pengalaman nyata seseorang, dengan didasarkan pada penelitian : Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence, dan Charless Duhig dalam The Power Of Habit.